Jumat, 16 Januari 2015

Janur Kuning sebagai sebuah simbol cahaya ilahi

Janur Kuning


Janur kuning, menjadi ornamen yang sangat familiar di setiap hajatan pengaten, pernikahan, di berbagai sudut negeri kita. Sebagai wujud lestarikan budaya dan ornamen penghias prosesi pernikahan, ternyata, tersirat makna dari seni lipat daun kelapa ini.

Apa makna simbolis yang terkandung?

Janur, bermakna sejane ning nur (arah menggapai cahaya Ilahi). Sedangkan, kuning bermakna sabda dadi, (yang dihasilkan dari hati/jiwa yang bening). Dengan demikian boleh kita ambil makna, arah menggapai cahaya Ilahi yang dihasilkan dari hati/jiwa yang bening. Olehkarena bahwa janur kuning mengisyaratkan :

Cita-cita mulia lagi nan tinggi untuk mencapai cahaya (nur)-Nya dengan dibarengi hati yang jernih.

Betapa mulia kandungan janur kuning dalam kultur prosesi pernikahan.

ARTI JANUR KUNING
Mengapa di setiap hajatan pernikahan yang masih bernuansa kejawen selalu ada hiasan seperti janur kuning melengkung, tebu, cengkir, pisang raja dan sebagainya yang ditempatkan di depan rumah. Ada banyak makna yang tersimbol di balik semuanya. Ini pula yang membuktikan luhurnya Bahasa Jawa.
Sebenarnya, dalam prosesi pernikahan –pada acara temu atau panggih, sang pembawa acara atau pranatacara, telah memberi penjelasan secara wijang (jelas). Namun karena ungkapan yang dilakukan pranatacara itu dalam bahasa Jawa Kawi yang kerap digunakan dalam bahasa pedalangan, justru menyebabkan banyak orang Jawa yang tak memahami maksud yang terkandung di dalamnya.
Memang terkesan sangat naif dan lucu apabila orang Jawa tidak memahami bahasanya. Namun kita juga bisa memakluminya. Penggunaan Bahasa Jawa Kawi ini sangat khas digunakan di acara pernikahan yang erat kaitannya dengan tatacara adat. Kekhasan ini pula yang membuat Alquran yang disampaikan dalam Bahasa Arab, namun tidak semua orang Arab bisa memahami Alquran. Diperlukan kajian yang mendalam. Kajian yang lebih dari sekadar memahami makna leksikalnya.
Banyak nasehat yang terkandung dalam acara prosesi pernikahan adat Jawa. Para pujangga dan leluhur Jawa yang telah menciptakan tradisi atau adat dalam acara pernikahan, tentu telah mengantongi nilai-nilai positif Ilahiyah. Semua itu banyak dikemas secara simbolis dan perlambang. Hal ini tak lepas dari kebiasaan orang Jawa yang tak memberi nasihat secara vulgar. Lebih sering digunakan pasemon (metafora, perlambang, simbolik dan sebagainya).
Makna simbolis yang terkandung dalam janur kuning melengkung yang berada di pintu gerbang sangt tuan rumah pengantin. Kata Janur sendiri, berasal dari kiratha basa Jawa (Othak-athik mathuk), sejane neng nur (arahnya menggapai nur=cahaya Ilahi). Sedangkan kata kuning bermakna sabda dadi (kun fayaku-Nya Allah SWT) yang dihasilkan dari hati atau jiwa yang bening. Dengan demikian, janur kuning mengisyaratkan cita-cita mulia dan tinggi untuk menggapai cahaya Ilahi dengan dibarengi hati yang bening. Nampak betapa tingginya filosofi janur kuning dalam prosesi pernikahan.
Filosofi yang tak kalah hebatnya nampak ketika mempelai pengantin laki akan dipertemukan dengan mempelai pengantin perempuan. Sebelumnya masing-masing mempelai telah dibekali dengan daun sirih (suruh) yang telah digulung untuk kemudian dilemparkan pada pasangannya masing-masing. Daun sirih ini memiliki simbol selaras, serasi dan seimbang.
Pada saat tersebut sang pranatacara ”Godhong suruh lumah lan kurebe, yen ginigit pada rasane”. Sebenarnya hal ini mengisyaratkan bahwa orang yang berumahtangga diibaratkan sebagai daun sirih. Dalam bahtera rumah tangga hendaknya pasangan mempelai selalu seiya-sekata serta mengerjakan kewajibannya masing-masing. Suami memberi nafkah lahir dan bathin, termasuk mendidik isteri. Sehingga dia menjadi pemimpin dalam mengurusi anak-anaknya, mengelola keuangan, menyiapkan makanan dan seterusnya.
Makna simbolis Tebu, Cengkir dan Pisang raja
Kalau kita mengamati di sebelah kiri-kanan ”gapura janur kuning”, terlihat pula tebu, cengkir dan pisang raja yang diikat pada dua tiang di depan ruang pertemua resepsi. Itu semua adalah simbolisasi nasehat yang diberikan para pujangga Jawa agar mempelai mempersiapkan masa depan kehidupannya secara sungguh-sungguh.
Pertama, Tebu. Tebu bisa kita artikan sebagai mantebing kalbu (mantapnya hati atau kalbu). Tanaman tebu yang rasanya manis dan menyegarkan memang sering dipakai sebagai simbol atau lambang dalam acara tradisi Jawa lainnya. Hal ini bisa kita lihat pada acara mitoni (selamatan untuk anak yang berusia 7 bulan). Si anak lalu dipandu untuk menaiki anak tangga.
Kedua, cengkir (buah kelapa yang masih muda). Maknanya adalah kencenging pikir. Dengan berbekal cengkir, sang mempelai diharapkan mampu melewati ujian kritis dalam mempertahankan pernikannya. Sehingga ”kaya mimi lan mituna” yang selalu bersama dalam menghadapi suka dan duka.
Ketiga, pisang raja, maknanya sangat jelas sebagai simbol dari raja. Artinya pernikahan manusia adalah salah satu tahap yang paling penting dari tiga proses perjalanan; kelahiran, perkawinan dan kematian. Diibaratkan dalam resepsi itu, pengantin adalah raja sehari yang disimbolisasikan dengan pisang raja yang ditempatkanm di depan rumah. Mempelai pun didudukkan di singgasana rinengga dengan mengenakan pakaiana ala raja dan permaisuri yang penuh aura kewibawaan.
Bobot, Bibit, Bebet
Gegarane wong akrami dudu bandha dudu rupo, amung ati pawitane, luput pisan kena pisan, yen angel angel kelangkung tan kena tinumbas arta (Rambu rambu pernikahan bukan soal harta dan bukan karena wajah. Hanyalah hati yang menjadi modal pertimbangannya, Jika sekali salah jika benar pun sekali. Jika telanjur sulit, maka sulitnya luar biasa, tak bisa dibeli dengan harta). Demikian ungkapan atau refleksi pujangga Jawa mengenai gegarane wong akrami.
Betapa pentingnya rambu-rambu pernikahan ini. Karena pernikahan buka sekadar hubungan lelaki dan perembuan berdasar naluri seksual. Pernikahan merupakan perjanjian yang snagat koko (mithaqan ghlizan). Perjanjian lahir dan batin seorang lelaki dan perempuan untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera sesuai dengan ketentuan sang pencipta dalam rangka berbakti dan beribadah kepad-Nya.
Berawal dari kehati-hatian menghadapi perkawinan itu pula, pujangga Jawa memberi rambu dalam memilih jodoh. Orang Jawa harus melihat dan mempertimbangkan obor-obor atau dom sumusupe banyu. Ada tiga hal penting yang menjadi pertimbangan itu.
Pertama, Bobot. Yakni menyeleksi kualitas calon pasangan pengantin. Hal ini sangat ditekankan terutama untuk calon pengantin laki-laki. Karena bahagia atau tidaknya seorang isteri sangat dipengaruhi oleh tingginya kualitas pendidikan dari sang suami. Hal ini akan sangat berpengaruh pada kestabilitasan sosial ekonomi rumah tangga yang akan dijalaninya.
Kedua, Bibit. Yakni pertimbangan berdasarkan keturunan atau keadaan orang tua sang calon pengantin. Keturunan ini pula yang nantinya sangat berpengaruh pada keadaan sosial kemasyarakatan dalam rumah tangga yang akan dijalani oleh si pengantin. Tentu ada beban psikologi sosial yang tinggi seandainya sang calon pengantin memiliki latar belakang kehidupan yang cacat dari sudut pandang sosial masyarakat.
Ketiga, Bebet. Perangai dari sang calon pasangan mempelai perlu dipelajari untuk menjadi bahan pertimbangan yang sangat matang sebelum menuju ke jenjang pernikan. Orang yang baik bisa dilihat dari ketercapaian hasil pada suatu proses sosialisasi di keluarga.
Bahasa Jawa dan Muatan Filsafatnya
Jelas sekali bahwa Bahasa Jawa sebagai salah satu simbol budaya memiliki satu derajat yang membanggakan, dikatakan edi peni (penuh dengan nilai estetis) dan adi luhung (luhur dan bermartabat). Hal ini yang selama ini masih membekaskan rasa bangga pada diri kita semua adalah bahasa Jawa telah mampu bertahan dan terbina selama berabad-abad. Menjadi alangkah menyedihkan kalau pada akhirnya kita kehilangan keedipenian serta keadiluhungan bahasa Jawa.
Oleh manusia, bahasa digunakan untuk menyatakan perasaan, keinginan dan kebutuhan atau untuk mendapatkan keterangan. Penggunaan bahasa lebih kompleks dan maju adalah menyatakan reasoning, menerangkan sebab-akibat, yaitu satu corak pemikiran khas yang dimiliki manusia dari pengetahuan yang ada untuk memperolah pengetahuan lainnya. Maka lahirlah berbagai bentuk filsafat nan anggun dan indah penuh dengan muatan tuntunan hidup yang pada akhirnya akan membawa manusia pada jalan hidup yang cerah.
Dengan kata lain, berfilsafat adalah suatu aktifitas untuk menggunakan akal dan budi, sedalam-dalamnya dengan penuh tanggung jawab untuk mengungkapkan misteri masalah kehidupan sebelum akhirnya sampai pada satu kesimpulan yang universal.
Ada pepatah yang berbunyi, “Wong Jawa nggoning rasa, pada gulange ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, kuwana nahan hawa, kinemat mamoting driyo”. (Orang Jawa itu tempatnya di perasaan, Mereka selalu bergulat dengan kalbu dan suara hati, agar pintar menangkap maksud yang tersembunyi, dengan jalan menahan hawa nafsu sehingga dapat mengetahui apa sebenarnya maksud yang tersembunyi). Perasaan atau intuisi memegang peranan yang sangat penting di samping keberadaan jiwa dan akal. metafisika
Dengan merunut penggunaan istilah bahasa yang dipakai, nampak sekali tradisi dan tindakan orang Jawa selalu berpegang teguh pada etika hidup yang menjunjung tinggi moral dan derajat hidup. Orang Jawa menempatkan kemuliaan hidup di atas segalanya.
Keberadaan filsafat Jawa ini diakui oleh sarjana Barat, Robert Jay seorang peneliti dalam bukunya Religion and Politics in Central Rural Jawa. Dikatakannya bahwa pemikiran Jawa tradisional menerangkan sistim filsafat lengkap dan pengindahan hidup yang menyentuh hati.***
(Dimuat di Majalah BENDE Nomor 87 – Januari 2011)

0 komentar:

Posting Komentar