Jumat, 16 Januari 2015

menyingkap makna Bubur Sajen Malam 1 Suro



Bubur Sajen malam 1 Suro, Tanggal 1 Suro (1 Muharram dalam tarikh Islam, atau 1 Asyura) diperingati oleh masyarakat Jawa dengan cara yang khas dan telah dilaksanakan secara turun-temurun selama berabad-abad. Sayangnya, tradisi ini tampaknya telah semakin termarginalkan dan hanya dilaksanakan oleh kaum sepuh yang masih memelihara tradisi itu sebagai pusaka budaya.

Seperti halnya dalam tradisi dan budaya yang lain, setiap ritual pelintasan (rites of passage) selalu diiringi dengan elemen kuliner sebagai lambang. Kaum Islam di Jawa merayakan Idul Fitri dengan nasi kuning, sementara suku-suku lain di Indonesia merayakannya dengan sajian ketupat. Pada Hari Raya Imlek, saudara-saudara kita yang keturunan Tionghoa memakai kue keranjang sebagai lambang. Kaum Kristen di Amerika Serikat menandai Thanksgiving Day dengan sajian kalkun panggang. Tidak satu pun kitab suci agama yang mewajibkan hadirnya makanan-makanan itu dalam hari-hari raya keagamaan. Karena itu, tradisi ini harus dilihat sebagai murni tradisi yang terpisah dari syariat agama. Tradisi ini memberi warna dan nuansa budaya dari rangkaian ritual agama – bagian perayaan atau celebration, atau festival, untuk memaknai kesyukuran. Mohon dicatat, tradisi Imlek dan Thanksgiving bukanlah bagian dari ritual agama.

Masyarakat Jawa menghadirkan bubur suran atau bubur suro pada malam menjelang datangnya 1 Suro. Dalam konsep Jawa, setelah lewat pukul empat petang dianggap sudah memasuki hari baru esok. Harus diingat bahwa bubur suro bukanlah sesajen yang bersifat animistik. Bubur suro syarat dengan lambang, dan karenanya harus dibaca, dilihat, dan ditafsirkan sebagai alat (uba rampe dalam bahasa Jawa) untuk memaknai 1 Suro atau Tahun Baru yang akan datang.

Bubur suro dibuat dari beras, santan, garam, jahe, dan sereh. Rasanya gurih dengan nuansa asin-pedas tipis. Di atas bubur ini ditaburi serpihan jeruk bali dan bulir-bulir buah delima, serta tujuh jenis kacang, yaitu: kacang tanah, kacang mede, kacang hijau, kedelai, kacang merah, kacang tholo, kacang bogor – sebagian digoreng, sebagian direbus. Diakhiri dengan beberapa iris ketimun dan beberapa lembar daun kemangi. Bayangkan, bauran elemen bahan dan bumbu yang menghadirkan berbagai tekstur. Klethik, klethuk, kriuk, krenyes.

Lauk yang umum dipakai untuk mendampingi bubur suro adalah opor ayam yang mlekoh dan sambal goreng labu siam berkuah encer dan pedas. Campuran itu menjadikan bubur suro sangat bergizi. Tidak heran bila Universitas Atma Jaya di Jakarta dan Universitas Airlangga di Surabaya melakukan kajian tentang kandungan gizi bubur suro dan menerbitkannya dalam makalah ilmiah.

Sebagai uba rampe, bubur suro tidak hadir sendiri. Ada lagi uba rampe lain berbentuk sirih lengkap, kembar mayang, dan sekeranjang buah-buahan. Hadirnya sirih lengkap melambangkan asal-usul dan penghormatan atau pengenangan kita kepada orang tua dan para leluhur – khususnya yang telah mendahului kita. Sirih lengkap – biasanya diletakkan dalam bokor kuningan atau tembaga – selalu hadir sebagai kelengkapan dalam ritual pelintasan Jawa dengan makna yang sama. Di Tanah Melayu kita juga melihat tradisi sekapur sirih ini untuk menyambut tamu yang datang berkunjung.

Kembar mayang yang hadir pada peringatan 1 Suro berbeda dengan kembar mayang yang kita lihat pada upacara pernikahan masyarakat Jawa. Disebut kembar mayang karena memang terdiri atas dua vas bunga. Masing-masing vas berisi tujuh kuntum mawar merah, tujuh kuntum mawar putih, tujuh ronce (rangkaian) melati, dan tujuh lembar daun pandan.

Sekeranjang buah-buahan juga diisi dengan tujuh jenis buah, dan masing-masing terdiri atas tujuh butir, misalnya: tujuh jeruk, tujuh salak, tujuh rambutan, dan lain-lain. Maknanya adalah agar semua pekerjaan dan tindakan menghasilkan buah yang manis dan bermanfaat bagi sesama.

Bila kita melihat, “membaca”, dan memberi makna pada lambang-lambang yang dihadirkan oleh bubur suro dan uba rampe-nya itu, akan tampak kemiripannya dengan tradisi modern menyambut tahun baru yang ditandai dengan refleksi dan resolusi. Kita melakukan peninjauan kembali terhadap kinerja tahun sebelumnya, dan kemudian membuat resolusi untuk memerbaiki tata hidup dan pencapaian di tahun berikutnya.

Bubur suro dan uba rampe yang dihadirkan kemudian tampil sebagai alat atau check list untuk memudahkan proses refleksi dan resolusi yang kita lakukan. Sudahkah kita punya tekad yang kuat untuk bekerja? Sudah benar dan bersihkah landasan tekad kita? Apakah pekerjaan kita sudah mengharumkan lingkungan kita? Apakah semua itu telah menghasilkan buah yang nyata? Bila belum, ayo kita perbaiki untuk tahun berikutnya.
@@@@
Di Tasikmalaya dan Garut, ada beberapa kelompok masyarakat yang merayakan tradisi dengan bubur sura pada tanggal 10 Muharam yang pada intinya terdiri atas bubur merah dan bubur putih yang masing-masing disimpan secara terpisah. Bubur merah dan bubur putih ini kemudian diusung ke masjid desa bersama hahampangan (berbagai makanan kecil) untuk disantap berjamaah.
metafisika
Di Garut, beberapa orang tua menjadikan 10 Asyura untuk menabalkan nama anaknya yang baru lahir. Biasanya orang tua membawa si bayi ke masjid, kemudian memerkenalkan namanya kepada hadirin. Karena acara “perkenalan” ini memakai syarat bubur merah dan bubur putih, di masyarakat Sunda sering terdengar ungkapan: "Ngaran budak teh geus beunang ngabubur beureum ngabubur bodas." (Nama anak ini sudah dikuatkan dengan bubur merah dan bubur putih).
*********
Lepas dari urusan keberagamaan, saya hanya ingin “membaca” bubur suro sebagai sebuah pusaka kuliner yang patut dilestarikan dalam konteks tradisi dan budaya. Banyak dari kita yang sudah lupa doktrin Trisakti yang dulu sering diucapkan Bung Karno, yaitu: berdaulat dalam politik, berswadaya dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.

arti angka 7 dalam budaya jawa

falsafah angka tujuh




angka tujuh merupakan suatu fenomena. sering kita dengar bahwa banyak hal mengenai sesajian, ritual, atau lelaku berhubungan dengan angka tujuh. seperti tujuh sumur, tujuh putaran, tujuh jenis kembang, apa makna yang tersimpan dari angka tujuh ini sebenarnya?

dalam bahasa jawa tujuh itu dikenal dengan nama pitu. pitu ini dikaitkan dengan konsep pitulungan. sehingga apapun yang diikatkan dengan angka tujuh mempunyai makna bahwa kita meminta pertolongan, nyuwun pitulungan, atau memohon kepada tuhan untuk pertolongannya.

demikianlah maka konsep penggunaan angka tujuh ini menjadi suatu yang sangat ditepati dan digunakan. karena dalam falsafahnya saja ternyata mengandung arti yang sangat mendalam bagi mereka yang mau untuk memahami dan menghayatinya 

Janur Kuning sebagai sebuah simbol cahaya ilahi

Janur Kuning


Janur kuning, menjadi ornamen yang sangat familiar di setiap hajatan pengaten, pernikahan, di berbagai sudut negeri kita. Sebagai wujud lestarikan budaya dan ornamen penghias prosesi pernikahan, ternyata, tersirat makna dari seni lipat daun kelapa ini.

Apa makna simbolis yang terkandung?

Janur, bermakna sejane ning nur (arah menggapai cahaya Ilahi). Sedangkan, kuning bermakna sabda dadi, (yang dihasilkan dari hati/jiwa yang bening). Dengan demikian boleh kita ambil makna, arah menggapai cahaya Ilahi yang dihasilkan dari hati/jiwa yang bening. Olehkarena bahwa janur kuning mengisyaratkan :

Cita-cita mulia lagi nan tinggi untuk mencapai cahaya (nur)-Nya dengan dibarengi hati yang jernih.

Betapa mulia kandungan janur kuning dalam kultur prosesi pernikahan.

ARTI JANUR KUNING
Mengapa di setiap hajatan pernikahan yang masih bernuansa kejawen selalu ada hiasan seperti janur kuning melengkung, tebu, cengkir, pisang raja dan sebagainya yang ditempatkan di depan rumah. Ada banyak makna yang tersimbol di balik semuanya. Ini pula yang membuktikan luhurnya Bahasa Jawa.
Sebenarnya, dalam prosesi pernikahan –pada acara temu atau panggih, sang pembawa acara atau pranatacara, telah memberi penjelasan secara wijang (jelas). Namun karena ungkapan yang dilakukan pranatacara itu dalam bahasa Jawa Kawi yang kerap digunakan dalam bahasa pedalangan, justru menyebabkan banyak orang Jawa yang tak memahami maksud yang terkandung di dalamnya.
Memang terkesan sangat naif dan lucu apabila orang Jawa tidak memahami bahasanya. Namun kita juga bisa memakluminya. Penggunaan Bahasa Jawa Kawi ini sangat khas digunakan di acara pernikahan yang erat kaitannya dengan tatacara adat. Kekhasan ini pula yang membuat Alquran yang disampaikan dalam Bahasa Arab, namun tidak semua orang Arab bisa memahami Alquran. Diperlukan kajian yang mendalam. Kajian yang lebih dari sekadar memahami makna leksikalnya.
Banyak nasehat yang terkandung dalam acara prosesi pernikahan adat Jawa. Para pujangga dan leluhur Jawa yang telah menciptakan tradisi atau adat dalam acara pernikahan, tentu telah mengantongi nilai-nilai positif Ilahiyah. Semua itu banyak dikemas secara simbolis dan perlambang. Hal ini tak lepas dari kebiasaan orang Jawa yang tak memberi nasihat secara vulgar. Lebih sering digunakan pasemon (metafora, perlambang, simbolik dan sebagainya).
Makna simbolis yang terkandung dalam janur kuning melengkung yang berada di pintu gerbang sangt tuan rumah pengantin. Kata Janur sendiri, berasal dari kiratha basa Jawa (Othak-athik mathuk), sejane neng nur (arahnya menggapai nur=cahaya Ilahi). Sedangkan kata kuning bermakna sabda dadi (kun fayaku-Nya Allah SWT) yang dihasilkan dari hati atau jiwa yang bening. Dengan demikian, janur kuning mengisyaratkan cita-cita mulia dan tinggi untuk menggapai cahaya Ilahi dengan dibarengi hati yang bening. Nampak betapa tingginya filosofi janur kuning dalam prosesi pernikahan.
Filosofi yang tak kalah hebatnya nampak ketika mempelai pengantin laki akan dipertemukan dengan mempelai pengantin perempuan. Sebelumnya masing-masing mempelai telah dibekali dengan daun sirih (suruh) yang telah digulung untuk kemudian dilemparkan pada pasangannya masing-masing. Daun sirih ini memiliki simbol selaras, serasi dan seimbang.
Pada saat tersebut sang pranatacara ”Godhong suruh lumah lan kurebe, yen ginigit pada rasane”. Sebenarnya hal ini mengisyaratkan bahwa orang yang berumahtangga diibaratkan sebagai daun sirih. Dalam bahtera rumah tangga hendaknya pasangan mempelai selalu seiya-sekata serta mengerjakan kewajibannya masing-masing. Suami memberi nafkah lahir dan bathin, termasuk mendidik isteri. Sehingga dia menjadi pemimpin dalam mengurusi anak-anaknya, mengelola keuangan, menyiapkan makanan dan seterusnya.
Makna simbolis Tebu, Cengkir dan Pisang raja
Kalau kita mengamati di sebelah kiri-kanan ”gapura janur kuning”, terlihat pula tebu, cengkir dan pisang raja yang diikat pada dua tiang di depan ruang pertemua resepsi. Itu semua adalah simbolisasi nasehat yang diberikan para pujangga Jawa agar mempelai mempersiapkan masa depan kehidupannya secara sungguh-sungguh.
Pertama, Tebu. Tebu bisa kita artikan sebagai mantebing kalbu (mantapnya hati atau kalbu). Tanaman tebu yang rasanya manis dan menyegarkan memang sering dipakai sebagai simbol atau lambang dalam acara tradisi Jawa lainnya. Hal ini bisa kita lihat pada acara mitoni (selamatan untuk anak yang berusia 7 bulan). Si anak lalu dipandu untuk menaiki anak tangga.
Kedua, cengkir (buah kelapa yang masih muda). Maknanya adalah kencenging pikir. Dengan berbekal cengkir, sang mempelai diharapkan mampu melewati ujian kritis dalam mempertahankan pernikannya. Sehingga ”kaya mimi lan mituna” yang selalu bersama dalam menghadapi suka dan duka.
Ketiga, pisang raja, maknanya sangat jelas sebagai simbol dari raja. Artinya pernikahan manusia adalah salah satu tahap yang paling penting dari tiga proses perjalanan; kelahiran, perkawinan dan kematian. Diibaratkan dalam resepsi itu, pengantin adalah raja sehari yang disimbolisasikan dengan pisang raja yang ditempatkanm di depan rumah. Mempelai pun didudukkan di singgasana rinengga dengan mengenakan pakaiana ala raja dan permaisuri yang penuh aura kewibawaan.
Bobot, Bibit, Bebet
Gegarane wong akrami dudu bandha dudu rupo, amung ati pawitane, luput pisan kena pisan, yen angel angel kelangkung tan kena tinumbas arta (Rambu rambu pernikahan bukan soal harta dan bukan karena wajah. Hanyalah hati yang menjadi modal pertimbangannya, Jika sekali salah jika benar pun sekali. Jika telanjur sulit, maka sulitnya luar biasa, tak bisa dibeli dengan harta). Demikian ungkapan atau refleksi pujangga Jawa mengenai gegarane wong akrami.
Betapa pentingnya rambu-rambu pernikahan ini. Karena pernikahan buka sekadar hubungan lelaki dan perembuan berdasar naluri seksual. Pernikahan merupakan perjanjian yang snagat koko (mithaqan ghlizan). Perjanjian lahir dan batin seorang lelaki dan perempuan untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera sesuai dengan ketentuan sang pencipta dalam rangka berbakti dan beribadah kepad-Nya.
Berawal dari kehati-hatian menghadapi perkawinan itu pula, pujangga Jawa memberi rambu dalam memilih jodoh. Orang Jawa harus melihat dan mempertimbangkan obor-obor atau dom sumusupe banyu. Ada tiga hal penting yang menjadi pertimbangan itu.
Pertama, Bobot. Yakni menyeleksi kualitas calon pasangan pengantin. Hal ini sangat ditekankan terutama untuk calon pengantin laki-laki. Karena bahagia atau tidaknya seorang isteri sangat dipengaruhi oleh tingginya kualitas pendidikan dari sang suami. Hal ini akan sangat berpengaruh pada kestabilitasan sosial ekonomi rumah tangga yang akan dijalaninya.
Kedua, Bibit. Yakni pertimbangan berdasarkan keturunan atau keadaan orang tua sang calon pengantin. Keturunan ini pula yang nantinya sangat berpengaruh pada keadaan sosial kemasyarakatan dalam rumah tangga yang akan dijalani oleh si pengantin. Tentu ada beban psikologi sosial yang tinggi seandainya sang calon pengantin memiliki latar belakang kehidupan yang cacat dari sudut pandang sosial masyarakat.
Ketiga, Bebet. Perangai dari sang calon pasangan mempelai perlu dipelajari untuk menjadi bahan pertimbangan yang sangat matang sebelum menuju ke jenjang pernikan. Orang yang baik bisa dilihat dari ketercapaian hasil pada suatu proses sosialisasi di keluarga.
Bahasa Jawa dan Muatan Filsafatnya
Jelas sekali bahwa Bahasa Jawa sebagai salah satu simbol budaya memiliki satu derajat yang membanggakan, dikatakan edi peni (penuh dengan nilai estetis) dan adi luhung (luhur dan bermartabat). Hal ini yang selama ini masih membekaskan rasa bangga pada diri kita semua adalah bahasa Jawa telah mampu bertahan dan terbina selama berabad-abad. Menjadi alangkah menyedihkan kalau pada akhirnya kita kehilangan keedipenian serta keadiluhungan bahasa Jawa.
Oleh manusia, bahasa digunakan untuk menyatakan perasaan, keinginan dan kebutuhan atau untuk mendapatkan keterangan. Penggunaan bahasa lebih kompleks dan maju adalah menyatakan reasoning, menerangkan sebab-akibat, yaitu satu corak pemikiran khas yang dimiliki manusia dari pengetahuan yang ada untuk memperolah pengetahuan lainnya. Maka lahirlah berbagai bentuk filsafat nan anggun dan indah penuh dengan muatan tuntunan hidup yang pada akhirnya akan membawa manusia pada jalan hidup yang cerah.
Dengan kata lain, berfilsafat adalah suatu aktifitas untuk menggunakan akal dan budi, sedalam-dalamnya dengan penuh tanggung jawab untuk mengungkapkan misteri masalah kehidupan sebelum akhirnya sampai pada satu kesimpulan yang universal.
Ada pepatah yang berbunyi, “Wong Jawa nggoning rasa, pada gulange ing kalbu, ing sasmita amrih lantip, kuwana nahan hawa, kinemat mamoting driyo”. (Orang Jawa itu tempatnya di perasaan, Mereka selalu bergulat dengan kalbu dan suara hati, agar pintar menangkap maksud yang tersembunyi, dengan jalan menahan hawa nafsu sehingga dapat mengetahui apa sebenarnya maksud yang tersembunyi). Perasaan atau intuisi memegang peranan yang sangat penting di samping keberadaan jiwa dan akal. metafisika
Dengan merunut penggunaan istilah bahasa yang dipakai, nampak sekali tradisi dan tindakan orang Jawa selalu berpegang teguh pada etika hidup yang menjunjung tinggi moral dan derajat hidup. Orang Jawa menempatkan kemuliaan hidup di atas segalanya.
Keberadaan filsafat Jawa ini diakui oleh sarjana Barat, Robert Jay seorang peneliti dalam bukunya Religion and Politics in Central Rural Jawa. Dikatakannya bahwa pemikiran Jawa tradisional menerangkan sistim filsafat lengkap dan pengindahan hidup yang menyentuh hati.***
(Dimuat di Majalah BENDE Nomor 87 – Januari 2011)